Perjuangan Kiai Amin Wujudkan Kemandirian Ekonomi Para Santri

JOMBANG, iNews.id Serombongan burung pipit terbang rendah di atas ladang sayur, menyambut puluhan santri Pondok Pesantren Fathul Ulum datang berkebun. Mereka saling bercuit sambil memamerkan gerakannya yang gesit. Dari timur, matahari mulai merayap di antara rindang pohon jambu, menghangatkan tubuh para santri yang mulai sibuk. Masih pukul 06.00 WIB, tapi suhu di pagi itu terasa panas.

Tak terasa, wajah yang baru saja basah oleh air wudu pun kering dalam sekejap, berganti keringat dan gerah di badan. Meski begitu, para santri tetap semangat melanjutkan aktivitasnya di ladang. Di kebun jambu, Ketua Pondok Muhammad Iqbal tengah memandu puluhan santri untuk membungkus buah yang mulai memerah. Pagi itu, santri kelas satu mendapat mengurus ladang berisi tanaman buah dalam pot (tambulapot), sementara kelas lain mengurus ladang jagung, sayuran dan juga ternak.

“Ini aktivitas setiap pagi. Setelah salat duha santri belajar bertani,” katanya. Iqbal mengatakan, bertani menjadi kurikulum wajib di Pondok Pesantren Fathul Ulum di Desa Puton, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang tersebut. Mereka tidak hanya dikenalkan, tetapi juga ikut praktik.

“Satu kelas pegang satu ladang. Mereka bertanggung jawab dari mulai mengolah tanah, menanam hingga memanen,” katanya. Jenis lahan yang diolah pun bermacam-macam, mulai dari tanaman pangan (padi dan jagung), sayur-sayuran hingga buah. Di tempat itulah mereka ditempa untuk menjadi mandiri.

Kemunduran pesantren salaf sekitar tahun 2005-2007 membuat pengasuh Pesantren Fathul Ulum KH Ahmad Habibul Amin (Kiai Amin) memutar otak agar Pesantren Fathul Ulum yang baru dirintis tidak bernasib sama. Saat itu banyak pesantren kehilangan kepercayaan masyarakat, hingga sepi peminat. Penyebabnya, banyak santri lulusan pesantren salaf sulit mendapatkan pekerjaan begitu lulus dari pondok. Hal itu terjadi karena di pesantren salaf hanya ada madrasah diniyah yang khusus mempelajari ilmu agama, terutama kitab-kitab kuning. Mereka tidak memiliki sekolah formal, sehingga lulusan pesantren kesulitan melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi negeri, apalagi mendapatkan pekerjaan layak karena tidak memiliki ijazah formal. Bagi Kiai Amin, alasan masyarakat tersebut sangatlah manusiawi. Sebab, pada akhirnya, begitu santri lulus akan kembali ke masyarakat, berkeluarga dan menghadapi kehidupan nyata. “Masyarakat menganggap pesantren tidak prospektif di dunia ekonomi,” katanya. Karena beberapa pondok pesantren salaf akhirnya mendirikan sekolah formal untuk menjawab keraguan masyarakat. Pondok-pondok itu antara lain, Ponpes Lirboyo Kediri, Ponpes Ploso dan beberapa pesantren besar lainnya. Kendati demikian, Kiai Amin tidak mengikuti langkah pondok-pondok besar tersebut. Sebab, dia khawatir, begitu membuka sekolah formal, maka pendidikan agama (diniyah) yang menjadi ruh dunia pesantren akan terkalahkan. “Kalau pondok melakukan itu semua (membuka sekolah formal), maka yang banyak hanya intelektual. Sementara tafaqquh fiddinya (pemahaman ilmu agama) akan hilang,” katanya. Karena itu, Kiai Amin tetap pada pendiriannya menerapkan sistem pendidikan salaf murni di Fathul Ulum. Solusinya, Kiai Amin menambahkan pendidikan skill kepada seluruh santri. Hal itu dilakukan sebagai upaya menjawab keraguan masyarakat tentang lulusan pesantren di dunia kerja. “Jadi ada penjurusan sesuai passion masing-masing. Senang tani ya diajari bertani. Seneng menjahit ya menjahit. Macam-macam. Ada mulimedia, advertising hingga peternakan,” katanya. Kiai Amin mengatakan, secara umum, pendidikan skill santri Fathul Ulum mirip dengan Sekolah Menegah Kejuruan (SMK). Bedanya, di pesantren, waktunya lebih lama, terutama untuk pendidikan praktik. Sebab, santri tinggal di pondok. Dia mencontohkan untuk mempelajari cara budi daya kambing, mengolah tanah primer dan skunder, para santri bisa menguasainya hanya dalam waktu enam bulan, karena santri langsung praktik. Sementara di sekolah formal kadang membutuhkan waktu hingga 3 tahun. Itu pun minim praktik. Namun, Kiai Amin menuturkan, mengasah skill santri menjadi seorang santripreneur bukan berarti mengajarkan anak-anak menjadi kaya. Tetapi, semata mengajarkan mereka untuk terampil, sehingga siap menghadapi kehidupan bermasyarakat kelak. Sebab, Kiai Amin tidak ingin saat santrinya lulus dan pulang lantas bingung bingung mencari kerja dan dimanfaatkan oleh orang-orang kaya dan ujung-ujungnya transaksional. “Saya wanti-wanti ke santri, jangan sekali-sekali kamu mengajar agama transaksional, karena rugi. Bukan haram, tapi ini remeh temeh,” katanya. Karena itu, santri harus punya keterampilan, agar bisa mencari nafkah dan memiliki kemandirian ekonomi. Saat itulah, seorang santri akan dengan ihlas mengamalkan ilmunya, sehingga misi tafaqquh fiddin pun bisa tercapai.

Pondok Pesantren Fathul Ulum bediri megah di pinggiran Desa Sidowarek, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang. Ruang kelas madrasah diniyah berderet di ujung timur, berjajar dengan asrama putra dan putri yang mengapit rumah pribadi pengasuh pesantren Kiai Amin.  Enam belas tahun lalu (2007), kompleks pondok pesantren Fathul Ulum masih berupa ladang tebu dan hutan bambu. Di tempat itulah Kiai Amin mendirikan bangunan pesantren dari angkringan kayu. Semua serba terbatas. Bahkan, sambungan listrik pun harus mengambil dari rumah warga di perkampungan yang jaraknya hampir 1 kilometer.  Namun, saat ini semua telah berubah. Pesantren kecil itu kini memiliki banyak unit usaha dan infrastruktur ekonomi yang mapan, di antaranya laboratorium menjahit, bengkel, advertising, rumah sablon hingga tempat pembuatan booth. Selain itu terdapat 2,5 hektare lahan pertanian, 40 kolam ikan, peternakan kambing, sapi, bebek hingga tempat pembuatan pupuk organik.  Kiai Amin mengatakan, seluruh unit usaha tersebut dikelola secara mandiri oleh lembaga (pesantren). Semuanya tergabung dalam Badan Usaha Milik Pesantren (BUMP).   “Jadi di pondok kami, semua usaha milik pondok. Tidak boleh kiai bikin usaha di dalam pondok. Usaha saya di luar. Bermitra dengan alumni pesantren atau masyarakat,” katanya.  Selain menghindari terjadinya konflik kepentingan, konsep tersebut dibuat untuk menghilangkan ketergantungan terhadap figur kiai. Sebab, banyak kasus, unit usaha pesantren berhenti gegara kiainya wafat. Sementara penerusnya tidak sefrekwensi.  “Maka kalau saya ingin bergabung, posisinya sebagai investor. Santri dimodali. Nanti bagi hasil, masing-masing 35 persen pengeloa (santri), pondok 30 persen, investor 35 persen,” katanya.  Sistem binis tersebut kata Kiai Amin sudah berjalan cukup lama. Itu sebabnya, saat ada donatur yang ingin menyumbang pesantren, diarahkan untuk menjadi investor, sehingga unit usaha cepat berkembang.  Unit-unit usaha inilah yang dijalankan santri Fathul Ulum sampai sekarang. Karena itu, mereka bisa mendapatkan penghasilan, sehingga tidak lagi bergantung kepada keluarga.  Kendati santri ikut menjalankan usaha, tugas utama sebagai santri (mengaji) tetap bisa dijalankan dengan baik. Pasalnya, sistem pendidikan di Fathul Ulum sudah tertata dengan baik, sehinggi sekolah tidak terbekalai. Kiai Amin menjelaskan, aktivitas para santri dimulai pada pukul 03.00 WIB untuk menjalankan salat malam dan berlanjut hingga subuh. Setelah itu, kajian agama (kitab kuning) hingga pukul 05.00 WIB.  Aktivitas bertani atau bekerja dilakukan setelah kajian agama hingga pukul 07.30 WIB. Setelah itu santri mengikuti sekolah diniyah mulai pukul 08.30 WIB dan berakhir pada waktu duhur.  “Nanti habis magrib mengaji lagi. Kemudian habis isya’ musyawarah. Setelah itu mempersiapkan pelajaran esok hari dan tidur,” katanya.  Ngaji Ati Ngaji Ekonomi Konsep santripreneur terus diperluas oleh Kiai Amin. Selain di lingkungan Pesanteren Fathul Ulum dan pesantren lain yang bermitra. Pendidikan wirausaha itu juga diimplementasikan di masyarakat, tempat Kiai Amin berdakwah.  Misinya sama, bagaimana masyarakat bisa mandiri secara ekonomi serta tetap terjaga spiritualitasnya. Lewat konsep itu, masyarakat tidak hanya diajak mengaji (diasah spiritualnya), tetapi juga diajari bekerja, mencari sumber pendapatan agar ekonomi keluarganya tetap terjaga.  Misi tersebut dilakukan Kiai Amin lewat beberapa program, salah satunya Gerakan Masjid Berdaya. Lewat program ini, dia mengajak masyarakat untuk salat berjemaah lima waktu di masjid selama sepekan nonstop.  Untuk jemaah yang berhasil diberi imbalan berupa satu ekor kambing. Namun, kambing tersebut tidak boleh dijual atau disembelih. Harus dipelihara hingga menghasilkan keturunan.  Tujuannya kambing tersebut bisa menjadi sumber ekonomi baru bagi yang bersangkutan. Setelah kambing beranak pinak, akan diambil satu untuk diberikan kepada jemaah lainnya secara bergiliran.  Model tersebut sudah berjalan di beberapa desa, salah satunya Masjid Nurul Anwar, Desa Puton, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang. “Alhamdulillah berhasil. Jemaah masjid jadi ramai. Masyarakat jadi mau mengaji,” katanya.  Selain kambing, Kiai Amin juga bermitra dengan kelompok tani di beberapa desa untuk membudidayakan tanaman sorgum. Caranya dengan memberikan benih, lalu melakukan pendampingan selama proses tanam hingga masa panen dan purna jual. Jenis tanaman sorgum ini dipilih karena mudah tumbuh dan daya tahan kuat. Sorgum bisa ditanam di tanah kering atau basah. Selain itu masa panennya juga relatif singkat antara 3-4 bulan.  “Sorgum ini juga free gluten. Kaya manfaat. Bisa jadi pengganti beras atau diolah jadi tepung dan mi. Batang hingga akarnya juga bisa diolah untuk pakan ternak” tuturnya.  Untuk menjalankan misi dakwah, Kiai Amin juga mendirikan forum pengajian bersama seluruh kelompok tani. “Jadi ngaji ati ya ngaji ekonomi,” katanya.  Kiai Amin mengatakan, gerakan tersebut harus terus digelorakan sebagai upaya menjaga ketahanan pangan, salah satunya melalui pesantren. Karena itu, pihaknya tengah membuat role model kerja sama masyarakat dengan pesantren ini.  Melalui sinergi tersebut, seluruh kebutuhan santri di pesantren, terutama makan bisa dibeli dari masyarakat langsung, tidak melalui toko atau tengkulak terlebih dahulu seperti yang selama ini terjadi.  “Nanti dijembatani ada usaha bersama. ini yang harus dibentuk. Menyatukan pesantren dengan masyarakat,” katanya.  Misi itu perlu dilakukan karena banyak desa yang harus disentuh, baik secara spiritual maupun ekonomi. Harapannya, kesejahteraan masyarakat terbangun dan spiritualitasnya terjaga.  Keberhasilan Kiai Amin menciptakan kemandirian ekonomi di pesantren, santri dan masyarakat inilah yang diganjar penghargaan oleh PT Astra International Tbk. Penghargaan itu berupa program kontribusi sosial berkelanjutan Kampung Berseri Astra (KBA) dan Desa Sejahtera Astra (DSA).  Tak hanya Pesantren Fathul Ulum juga ditetapkan sebagai Juara III KBANNOVATION 2019 yang bertajuk ‘Inovasi Kita, Inspirasi Negeri’ untuk kategori Desa Sejahtera Astra dari Astra International.